Penerbitan Vinyl dan Urgensi Pengarsipan

Ada peristiwa menarik pada Rabu, 2 Oktober 2014. Saat itu, label tertua di Indonesia, Musica Studios, untuk pertama kalinya sejak tiga dasawarsa silam kembali merilis album rekaman dalam format piringan hitam atau vinyl untuk album terbaru grup musik d’Masiv bertajuk Hidup Lebih Indah.

Suasana peluncuran album vinyl d'Masiv oleh Musica Studios (Foto Fadli Aat)

Suasana peluncuran album vinyl d’Masiv oleh Musica Studios (Foto Fadli Aat)

Kenapa menarik? Karena label musik sebesar Musica Studios, di tengah merebaknya distribusi musik secara digital, pada akhirnya memiliki keberanian untuk merilis album pop mainstream seperti d’Masiv dalam bentuk piringan hitam sebanyak 500 keping. Dalam catatan saya, major label Sony Music pada 2012 telah memulai merilis album Superman Is Dead bertajuk 1997-2009 sebanyak 1.000 keping cakram.

Memang banyak yang menyangsikan rilisan vinyl ini akan mendapat respons yang bagus dari masyarakat penikmat musik, saat penjualan fisik seperti CD menurun, bahkan format kaset telah lama hilang. Namun label-label besar seperti Sony Music atau Musica Studios tetap melakukannya. Bisa jadi mereka terinspirasi oleh gerakan “back to vinyl” yang tengah merebak di Amerika Serikat dan belahan dunia lainnya. Dan pihak label menyikapi hal ini sebagai test case terhadap respons masyarakat akan format yang pernah berjaya pada beberapa dasawarsa silam. Jika ditilik secara saksama, momennya memang tepat. Kerinduan akan format fisik seperti vinyl memang tengah melanda dunia, walau tidak dengan skala yang sensasional.

Di Amerika Serikat, tercatat sekitar 4 tahun terakhir penjualan format vinyl naik 300 persen dengan penjualan pada 2006 sebesar 858.000, menjadi 2,5 juta pada 2009. Menurut data Nielsen SoundScan, pada 2010, penjualan vinyl berkisar 2,8 juta keping. Bahkan, jika melongok data pada Juni 2011, penjualan vinyl mencapai 40 persen melebihi tahun sebelumnya.

Indrawati Widjaja, pemilik Musica Studios, kini juga telah merencanakan perilisan katalog-katalog lama (back catalog) Musica Studios pada era 1970-an dan 1980-an, seperti album karya Guruh Soekarno Putra, Iwan Fals, Chrisye, dan Harry Roesli. Ini sebuah upaya yang pantas didukung, mengingat begitu banyak karya seniman musik Indonesia punah begitu saja. Pencapaian musik di masa lalu sepatutnya diberdayakan kembali dalam bentuk fisik seperti vinyl.

Sebab, vinyl dengan kemasan art work yang menampilkan cover beserta liner note dan detail data musik bisa dianggap memiliki sifat yang sama dengan buku, atau karya senirupa lainnya yang mampu merefleksikan sekaligus merekam sejarah budaya populer di suatu masa. Ini karena musik sebagai sejarah budaya populer tak hanya dinikmati sebagai produk bunyi saja tanpa bentuk fisik yang memadai, seperti halnya vinyl atau piringan hitam.

Upaya merilis katalog-katalog lama dalam bentuk vinyl bukan lagi untuk kepentingan nostalgia belaka, melainkan merupakan upaya pengarsipan yang memiliki urgensi. Selama ini sejarah musik populer di Indonesia memang nyaris agak berantakan dengan data-data yang berserakan. Kita sama sekali tak memiliki data maupun pencatatan yang akurat, seperti yang dilakukan oleh negara-negara maju.

Jika banyak label di Indonesia mulai mengikuti apa yang dirintis Musica Studios, Majemuk Record, dan Rockpod Record, setidaknya ini akan menangkal upaya dari beberapa label mancanegara yang merilis album-album Indonesia tanpa izin resmi alias membajak.

Leave a comment